Minggu, 15 Agustus 2010

keeksisan kerajaan sriwijaya

Kepulauan Indonesia yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, dapat diumpamakan sebagai sebuah jembatan di antara dua benua tersebut. Letak geografisnya antara 54’ LU dan 110 LS, serta 950 01’ BT dan 1410 02’ BT, membuat Indonesia termasuk dalam daerah khatulistiwa dan di daerah hembusan angin musim Indo-Australia. Angin musim tersebut jelas berpengaruh pada pola pelayaran dan segala kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan perahu ataupun kapal. Misalnya, menangkap ikan, perdagangan, dan sebagainya. Selain menjadi jembatan antara Benua Asia dan Benua Australia, Indonesia juga terletak dalam jalur perdagangan antara dua pusat perdagangan zaman kuno, yaitu India dan Cina, atau yang lebih dikenal dengan sebutan jalur sutra. Letaknya dalam jalur perdagangan internasional ini berpengaruh besar pada perkembangan sejarah kuno Indonesia.
Bila kita membicarakan Indonesia zaman kuno atau pada abad 4 sampai abad 14, sangatlah memperlihatkan aktivitas Indonesia yang dalam konteks waktu tersebut disebut sebagai Nusantara. Masa di mana Nusantara penuh dengan kegemerlapan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budha, dan terletak di Sumatera Selatan dengan pusatnya di Palembang. Sementara itu, sumber-sumber sejarah tentang kerajaan ini dapat dilihat dari beberapa peninggalan prasasti. Ada kurang lebih enam prasasti yang telah ditemukan tersebar di Sumatera Selatan dan Pulau Bangka. Prasasti yang diketemukan umumnya berawal dari Abad 7 dan abad 8 atau pada masa tumbuhnya Sriwijaya sebagai suatu kekuatan. Antara lain, yaitu Prasasti Kedukan Bukit (di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang), Prasasti Talang Tuo (di Talang Tuo, sebelah barat Kota Palembang), Prasasti Telaga Batu (di Telaga Batu, dekat Palembang), Prasasti Kota Kapur (di dekat Sungai Menduk di Pulau Bangka bagian barat), Prasasti Karang Brahi ( di daerah Karang Brahi, di tepi Sungai Merangin, cabang Sungai Batang Hari di Jambi Hulu), Prasasti Palas Pasemah (di tepi Sungai Pisang anak Sungai Sekapung, Lampung Selatan), dan beberapa prasasti singkat yang disebut fragmen prasasti. Selain itu, sumber lainnya dapat dilihat dari beberapa kronik Cina dan sunber-sumber dari Arab dan Persia.
Sriwijaya merupakan Kerajaan Maritim, bahkan kabar yang terdengar adalah Sriwijaya merupakan Kerajaan Maritim terbesar se Asia Tenggara pada masa itu. Struktur birokrasi Sriwijaya pun berbeda dengan struktur birokrasi kerajaan di Jawa, yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri. Kelangsungan Sriwijaya, lebih tergantung dari pola-pola perdagangan yang berkembang. Untuk memperkuat dirinya, Sriwijaya menggunakan tradisi maritim, yaitu kebebasan ritual-ritual yang berkaitan dengan melanjutkan hidup. Jika suatu kerajaan hidup dari perdagangan, berarti harus bisa menguasai jalur-jalur pedagangan dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang-barang ditimbun untuk diperdagangkan dan memiliki pola pengamanan yang kuat. Pola pengamanan yang ditempuh adalah dengan memasukkan kepala-kepala perompak atau kelompok bajak laut dalam ikatan dengan kerajaan. Mereka mendapat bagian yang ditentukan oleh raja dari hasil perdagangan. Dengan demikian, mereka menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan. Cara ini menjadikan perompak atau kelompok bajak laut sebagai pengaman dari jalur-jalur pelayaran.
Sementara itu, karya-karya I-tsing yang ditulisnya di Sumatera pada tahun 689 dan 692, menunjukkan betapa mashurnya Sriwijaya sebagai pusat Agama Budha. Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung Agama Budha dan penganut yang taat. Ini juga ditunjukkan melalui hubungan yang baik dengan India, bahwa Sriwijaya memberikan hadiah sebuah desa untuk diabadikan kepada Sang Buddha yang dihormati di Cudamanivarmavihara. Selain dengan India, Sriwijaya pun mempunyai hubungan yang baik dengan Cina, terutama dalam bidang perdagangan. Untuk kepentingan perdagangannya, Sriwijaya tidak keberatan untuk mengakui Cina sebagai negara yang berhak menerima upeti, dan selalu mengirimkan utusan ke Cina sejak abad 5 hingga kurang lebih pertengahan ad 6. Ini adalah sebagian dari usaha diplomatik Sriwijaya untuk menjamin agar Cina tidak membuka perdagangan langsung dengan negara lain di Asia Tenggara, sehingga akan merugikan perdagangan Sriwijaya. Perdagangan dengan India dan Cina telah memberikan keuntungan yang besar kepada Sriwijaya, dan kerajaan ini telah berhasil mengumpulkan kekayaan yang besar pula. Keberhasila Sriwijaya lainnya meliputi, tehnologi kapal, kemampuan berdiplomasi, hubungan kesejajaran, dan mengembangkan Agama Budha. Inilah yang membuat Sriwijaya dapat bertahan sebagai suatu kerajaan yang dapat eksis dari abad 6 samapi abad 13.

2 komentar: